Di kalangan masyarakat Jawa, AGAMA, berdasar pada praktek
keseharian, sering diplesetkan menjadi “ageman”
(pakaian). Sebagai pakaian tentu saja agama tergantung pada yang memakainya. Manakala
dia suka dipakailah pakaian itu terus menerus. Sebaliknya jika dirasa sudah
ketinggalan jaman boleh jadi pakaian itu dilepas dan disimpan di almari. Atau
ketika udara panas pakaian itu dilepas untuk sementara dan digantungkan di
dinding.
Karena agama diidentikkan dengan pakaian, tak heran jika di
kalangan masyarakat mudah terjadi perpindahan agama. “Apa salahnya memakai baju
U Can See kalau memang lagi mode”,
begitu kurang lebih kata mereka. Disaat lain ia lepas “baju” agamanya karena
berat menyandangnya, misalnya ketika diperintahkan zakat atau menyembelih
qurban. Terkadang agama juga sangat diperlukan, misalnya untuk men-justifikasi keinginannya berpoligami.